Santri Metropolis

Belajar Menjadi Bijak

JUAL BELI SAHAM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

with 5 comments

A. Pendahuluan

Wacana Sistem Ekonomi Islam sebagai sistem ekonomi alternatif dunia bukanlah isapan jempol. Pada 28 April – 1 Mei 2008, di Kuwait digelar perhelatan akbar World Islamic Economic Forum (WIEF) keempat dengan tema “Negara-negara Islam sebagai Mitra Pembangunan Global.” Perhelatan ini juga dihadiri oleh delegasi non-muslim seperti Tony Blair, mantan PM Inggris dan Bob Hawke, mantan PM Australia.[1]

Di Indonesia sendiri, Ekonomi Islam mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Pertumbuhan ini berawal sejak diakuinya dual system perbankan pada tahun 1992 yang mengijinkan beroperasinya sistem perbankan tanpa bunga (Bank Syariah).

Bertalian erat dengan hal tersebut, jual beli merupakan aktivitas utama perekonomian baik dalam sistem ekonomi Islam maupun sistem ekonomi lain. Sistem Ekonomi Islam memberikan perhatian serius terhadap permasalahan jual beli. Permasalahan jual beli dibahas secara mendetail oleh banyak ulama di samping masalah ritual ibadah mahdah. Islam tidak mengenal dikotomi antara aktivitas keduniawian dengan keukhrawian. Setiap aktivitas dunia senantiasa berkaitan erat dengan aktivitas akhirat sehingga harus berada dalam bingkai ajaran Islam.

Sistem Islam melarang setiap aktivitas perekonomian—tak terkecuali jual beli (perdagangan)—yang mengandung unsur paksaan, mafsadah (lawaran dari manfaat), dan gharar (penipuan). Sedangkan, bentuk perdagangan Islam mengijinkan adanya sistem kerja sama (patungan) atau lazim disebut dengan syirkah.[2]

Adalah benar adanya bahwa perkembangan ekonomi suatu negara tidak lepas dari perkembangan pasar modal. Perkembangan pasar modal di negara-negara maju, termasuk di negara-negara muslim sekalipun, kiranya menuntut untuk dicermati lebih lanjut. Hal ini menjadi keharusan, selain terkait dengan semakin membesarnya peran pasar modal di dalam memobilisasi dana ke sektor riil, juga disebabkan adanya tuntutan bahwa sekuritas yang diperdagangkan harus selaras dengan syariat Islam.[3]

Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan kajian mendalam dari sudut pandang Islam akan aktivitas jual beli saham di pasar modal. Hal ini disebabkan karena sifat hukum Islam yang universal dan komprehensif.

B. Prinsip Jual beli dalam Islam

1. Pengertian Jual beli

Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta. Sedangkan, secara terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan.[4]

2. Dasar Hukum

Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, sunnah, ijma, dan dalil akal. Allah SWT berfirman:

“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Alquran, 2:275)

3. Klasifikasi Jual beli[5]

Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang. Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:

a. Berdasarkan Objeknya

Jual beli berdasarkan objek dagangnya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:

1) Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.

2) Jual beli as-Sharf (Money Changer), yaitu penukaran uang dengan uang.

3) Jual beli muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan barang.

b. Berdasarkan Standardisasi Harga

1) Jual Beli Bargainal (tawar menawar), yaitu jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.

2) Jual Beli Amanah, yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan modal barang yang dijualnya. Dengan dasar ini, jual beli ini terbagi menjadi tiga jenis:

a) Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui.

b) Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian yang diketahui.

c) Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual barang sama dengan harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian.

c. Cara Pembayaran

Ditinjau dari cara pembayaran, jual beli dibedakan menjadi empat macam:

1) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung (jual beli kontan).

2) Jual beli dengan pembayaran tertunda (jual beli nasi’ah).

3) Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.

4) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.

4. Syarat Sah Jual Beli[6]

Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus dipenuhi beberapa syaratnya terlebih dahulu. Syarat-syarat ini terbagi dalam dua jenis, yaitu syarat yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan syarat yang berkaitan dengan objek yang diperjualbelikan.

Pertama, yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi untuk melakukan aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Dengan demikian, tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.

Kedua, yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai berikut:

· Objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.

· Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar tidak terhindar faktor ‘ketidaktahuan’ atau ‘menjual kucing dalam karung’ karena hal tersebut dilarang.

· Tidak memberikan batasan waktu. Artinya, tidak sah menjual barang untuk jangka waktu tertentu yang diketahui atau tidak diketahui.

5. Juzaf (Jual Beli Spekulatif)[7]

Juzaf ialah menjual barang yang bisa ditakar, ditimbang atau dihitung secara borongan tanpa ditakar, ditimbang atau dihitung terlebih dahulu. Contoh hal ini adalah seseorang yang menjual setumpuk makanan, setumpuk pakaian atau sebidang tanah tanpa mengetahui kepastian ukurannya.

Jual beli ini disyariatkan sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Umar Ra. bahwa ia menceritakan, “Kami biasa membeli makanan dari para kafilah dagang dengan cara spekulatif. Lalu Rasulullah saw melarang kami menjualnya sebelum kami memindahkan dari tempatnya.” (HR. Muslim).

Hadits ini mengindikasikan bahwa para sahabat sudah terbiasa melakukan jual beli juzaf (spekulatif), sehingga hal itu menunjukkan bahwa hal tersebut dibolehkan.

Namun demikian, agar jual beli juzaf ini diperbolehkan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Para ulama Malikiyah menyebutkan persyaratan tersebut sebagai berikut:

· Baik pembeli dan penjual sama-sama tidak mengetahui ukuran barang dagangan. Kalau salah satunya tahu, jual beli itu tidak sah.

· Jumlah barang dangangan jangan banyak sekali sehingga sulit diprediksikan, atau sedikit sekali sehingga mudah dihitung.

· Tanah tempat meletakkan barang dagangan tersebut harus rata, sehingga tidak terjadi unsur kecurangan dalam spekulasi.

· Barang dagangan harus tetap dijaga dan kemudian diperkirakan jumlah atau ukurannya ketika terjadi akad.

Namun demikian, terdapat pengecualian, tidak boleh menjual komoditi riba fadhl dengan jenis yang sama secara spekulatif, seperti menjual satu tandum kurma dengan satu tandum kurma yang lain. Hal ini dikarenakan kaidah dalam jual beli komoditi riba fadhl, “Ketidaktahuan akan kesamaan sama saja dengan mengetahui adanya perbedaan (ketdaksamaanya).”

6. Sebab-sebab Dilarangnya Jual Beli[8]

Larangan jual beli disebabkan karena dua alasan, yaitu:

a. Berkaitan dengan objek

1) Tidak terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada, menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih) atau yang masih dalam tulang dada induknya (madhamin).

2) Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti menjual barang najis, haram dan sebagainya.

3) Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual, seperti jual beli fudhuly.

b. Berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual beli

1) jual beli yang mengandung riba.

2) Jual beli yang mengandung kecurangan.

Ada juga larangan yang berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal di atas seperti adanya penyulitan dan sikap merugikan, seperti orang yang menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, menjual senjata saat terjadinya konflik sesama mulim, monopoli dan sejenisnya. Juga larangan karena adanya pelanggaran syariat seperti berjualan pada saat dikumandangkan adzan shalat Jum’at.

Akan tetapi, kemungkinan yang paling banyak tersebar dalam realitas kehidupan adalah sebagai berikut:

· Objek jual beli yang haram.

· Riba.

· Kecurangan, serta;

· Syarat-syarat yang menggiring kepada riba, kecurangan atau kedua-duanya.

7. Jual Beli yang Bermasalah

a. Jual Beli yang Diharamkan

1) Menjual tanggungan dengan tanggungan

Telah diriwayatkan larangan menjual tanggungan dengan tanggungan sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi dari Ibnu ’Umar Ra.[9] Yaitu menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga. Misalnya, menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Ini adalah bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.[10]

2) Jual beli disertai syarat[11]

Jual beli disertai syarat tidak diijinkan dalam hukum Islam. Malikiyah menganggap syarat ini sebagai syarat yang bertentangan dengan konsekuensi jual beli seperti agar pembeli tidak menjualnya kembali atau menggunakannya.

Hambaliyah memahami syarat sebagai yang bertentangan dengan akad, seperti adanya bentuk usaha lain, seperti jual beli lain atau peminjaman, dan persyaratan yang membuat jual beli menjadi bergantung, seperti ”Saya jual ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.”

Sedangkan Hanafiyah memahaminya sebagai syarat yang tidak termasuk dalam konsekuensi perjanjian jual beli, dan tidak relevan dengan perjanjian tersebut tapi bermanfaat bagi salah satu pihak.

3) Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli

Tidak dibolehkan melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi, namun terdapat perbedaan dalam aplikasinya sebagai berikut:

a) Jual beli dengan dua harga; harga kontan dan harga kredit yang lebih mahal. Mayoritas ulama sepakat memperbolehkannya dengan ketentuan, sebelum berpisah, pembeli telah menetapkan pilihannya apakah kontan atau kredit.[12]

b) Jual beli ’Inah, yaitu menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, lalu si penjual membelinya kembali dengan pembayaran kontan yang lebih murah.[13]

4) Menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau menawar barang yang masih ditawar orang lain. Mayoritas ulama fiqih mengharamkan jual beli ini. Hal ini didasarkan pada larangan dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim, ”Janganlah seseorang melakukan transaksi penjualan dalam transaksi orang lain. Dan janganlah seseorang meminang wanita yang masih dipinang oleh orang lain, kecuali bila mendapat ijin dari pelaku transaksi atau peminang yang pertama.”[14]

5) ’Orang kota menjual barang orang dusun.’ Yang dimaksud dengan istilah ini adalah orang kota yang menjadi calo bagi pedagang orang dusun.[15] Rasulullah saw bersabda: ”Janganlah orang kota menjualkan komoditi orang dusun. Biarkan manusia itu Allah berikan rizki, dengan saling memberi keuntungan yang satu kepada yang lain.” (HR. Muslim)

6) Menjual anjing. Dalam hadits Ibnu Mas’ud, Rasulullah telah melarang mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun (HR. Bukhari). Kalangan Syafi’iyah dan Hambaliyah menganggap tidak sah menjual anjing apapun, baik dipelihara (untuk berburu) maupun tidak. Sedangkan, Malikiyah membolehkan menjual anjing kelompok yang pertama dengan hadits: ”Rasulullah mengharamkan hasil jualan anjing, kecuali anjing buru.” (HR. An-Nasa’i).

7) Menjual alat-alat musik dan hiburan. Mayoritas ulama mengharamkan semua lat-alat hiburan dan alat-alat musik yang diharamkan.[16]

8) Jual beli saat adzan Jum’at dikumandangkan. Allah swt berfirman: ”Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahu.” (Alquran, 62: 9). Adzan yang dimaksud adalah adzan ketika khatib naik mimbar. Parameter diharamkannya jual beli ini adalah bahwa orang yang melakukan transaksi adalah orang yang wajib shalat Jum’at, mengetahui larangan tersebut dan tidak dalam kondisi darurat. Jika keduanya tidak wajib shalat Jum’at, maka tidak apa-apa. Namun jika salah satunya wajib, keduanya berdosa.[17]

b. Jual Beli yang Diperdebatkan

1) Jual beli ’Inah. Yaitu jual beli manipulatif agar pinjaman uang dibayar dengan lebih banyak (riba). Mayoritas ulama mengharamkannya tanpa pengecualian, sedangkan Imam as-Syafi’i membolehkannya jika tidak disepakati sebelumnya.[18]

2) Jual beli Wafa. Yakni jual beli dengan syarat pengembalian barang dan pembayaran, ketika si penjual mengembalikan uang bayaran dan si pembeli mengembalikan barang. Menurut pendapat ulama tujuan dari jual beli ini adalah riba yang berupa manfaat barang.[19]

3) Jual beli dengan uang muka. Yaitu dengan membayarkan sejumlah uang muka (urbun) kepada penjual dengan perjanjian bila ia jadi membelinya, uang itu dimasukkan ke dalam harganya. Jika tidak terjadi, urbun menjadi milik penjual. Mayoritas ulama membolehkan jual beli seperti ini, jika diberi batasan menunggu secara tegas.[20]

4) Jual beli Istijrar. Yaitu mengambil kebutuhan dari penjual secara bertahap, selang beberapa waktu kemudian membayarnya. Mayoritas ulama membolehkannya, bahkan bisa jadi lebih menyenangkan bagi pembeli daripada jual beli dengan tawar menawar.[21]

C. Investasi dalam Islam

1. Syirkah dan Hukum-hukumnya

Syirkah menurut ahli fiqih berarti aliansi dalam kepemilikan atau dalam beraktivitas. Syirkah disyariatkan menurut ijma’ para ulama yang disandarkan pada beberapa dalil, di antaranya Firman Allah SWT:

“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah.” (Alquran, Al-Anfal: 41).

Syirkah terbagi menjadi dua macam, yaitu syirkah kepemilikan dan syirkah transaksional. Syirkah kepemilikan yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan salah satu sebag kepemilikan seperti jual beli, hibah atau warisan. Sedangkan, syirkah transaksional merupakan akad kerjasama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan.

Macam-macam syirkah transaksional[22]

Mayoritas ulama, membagi syirkah transaksional sebagai berikut:

· Syirkatul ‘Inan, yaitu persekutuan dalam modal, usaha dan keutungan. Dua orang atau lebih dengan modal yang mereka miliki, membuka usaha yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan. Ijma’ membolehkan syirkah semacam ini, meski pada perinciannya ada yang diperselisihkan.

· Syirkatul Abdan, yaitu kerjasama antara dua pihak atau lebih dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh mereka, seperti kerjasama doketer di klinik, tukang jahit atau tukang cukur dalam salah satu pekerjaan. Hal ini dibolehkan, kecuali oleh Imam Syafi’ie.

· Syirkatul Wujuh, yaitu kerjasama dua pihak atau lebih dalam keuntungan dari apa yang mereka beli dengan nama baik mereka. Tak seorangpun dari mereka yang memiliki modal. Syirkah ini dibolehkan menurut Hanafiyah dan Hambaliyah, namun dilarang menurut Malikiyah dan Syafi’iyah.

· Syirkatul Muwafadhah, yaitu kerjasama di mana setaiap pihak memiliki modal, usaha dan hutang-piutang yang sama, dari awal hingga akhir. Kerjasama seperti ini diperbolehkan oleh mayoritas ulama kecuali Syafi’i.

2. Mudharabah (Investasi) dan Hukum-hukumnya[23]

Mudharabah adalah penyerahan modal kepada orang yang terbiasa berdagang dengan memberikan sebagian keuntungan kepada pedagang tersebut. Hal ini dibolehkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin.

Rukun-rukun kerjasama ini ada tiga: Dua pihak transaktor, objek transaksi, dan pelafalan perjanjian.

Dua transaktor harus memiliki kompetensi. Boleh juga bekerjasama dengan nonmulsim, dengan syarat harus dimonitor pengelolaannya agar kehalalannya terjaga.

Sementara, objek transaksi yang disyaratkan harus berupa alat tukar—emas, perak dan uang. Dibolehkan menanam modal dengan hutang, bagi yang memiliki kemampuan untuk membayarnya. Juga boleh menanam modal dengan uang titipan atau dapat berupa dana segar.

Sementara dalam usaha investasi ini disyaratkan untuk diputar dalam dunia niaga dan bidang-bidang terkait. Kalangan Hambaliyah membolehkan penyerahan modal dalam bidang industri dalam bentuk alat-alat produksi dengan mengambil keuntungan dari sebagian hasilnya, diqiyaskan dengan muzara’ah (investasi pertanian) dan musaqot (investasi perkebunan).

Keuntungan mudharabah harus diketahui secara jelas, berupa prosentase yang umum. Jika seorang ditentukan mendapat bagian tetap (yang tidak diputar), maka perjanjian tersebut batal.

D. Praktik Jual Beli Saham

1. Sejarah Bursa dan Pasar Modal Indonesia

a) Masa Tahun 1952-1958.[24]

Pada tanggal 3 Juni 1952, perdagagan surat berharga untuk pertama kali mulai dilakukan. Pembukaan bursa ini dilakukan di gedung De Javasches Bank (Bank Indonesia) oleh Menteri Keuangan, Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Pada 1958, perdagangan surat berharga ini terhenti karena situasi sosial politik dirasa tidak mendukung.

b) Babak Baru Pasar Modal Tahun 1977.[25]

Babak baru Pasar Modal Indonesia yang sering disebut dengan masa kebangkitan Pasar Modal Indonesia, terjadi pada tanggal 10 Agustus 1977.

Peresmian Pasar Modal Indonesia diikuti pula dengan dibentuknya Badan Pelaksana Pasar Modal (BAPEPAM), yang kini telah berubah menjadi Badan Pengawas Pasar Modal, juga dibentuknya DANAREKSA yang merupakan perusahaan investment trust.

Sejak bursa efek mulai diaktifkan kembali, saham mulai diperkenalkan, meski obligasi belum. Obligasi kembali diterbitkan pada bulan Maret 1983. Obligasi yang pertama diterbitkan adalah oleh PT. Yasa Marga.

c) Perkembangan Bursa Efek.[26]

Perkembangan biursa efek yang terjadi kini adalah berkat perjuangan dari BAPEPAM, perusahaan yang bersedia memasyarakatkan sahamnya, pemerintah, lembaga penunjang, dan masyarakat yang turut meramaikan perdagangan saham dan turut berpartisipasi.

d) Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bursa Efek Surabaya (BES), dan Bursa Paralel Indonesia (BPI).[27]

Pada tanggal 10 Agusutus 1977, perdagangan efek dilakukan oleh BEJ sehingga masyarakat sering mengidentikkannya dengan pasar modal Indonesia. BES mulai ada pada tahun 1989, dan saat itu telah ada pula Bursa Paralel Indonesia yang berdiri tahun 1988. Keduanya yakni BES dan BPI akhirnya merger, jadi kini hanya BEJ dan BES. Pada tahun BEJ dan BES melakukan merger dan menjadi Bursa Efek Indonesia.

e) Bursa Efek Indonesia.[28]

Pada 13 Juli 1992, BEJ diprivatisasi dengan dibentuknya PT. Bursa Efek Jakarta. Kemudian pada 1995, perdagangan elektronik di BEJ dimulai.

Setelah sempat jatuh ke sekitar 300 poin pada saat-saat krisis, BEJ mencatat rekor tertinggi baru pada awal tahun 2006 setelah mencapai level 1.500 poin berkat adanya sentimen positif dari dilantiknya presiden baru, Susilo Bambang Yudhoyono. Peningkatan pada tahun 2004 ini sekaligus membuat BEJ menjadi salah satu bursa saham dengan kinerja terbaik di Asia pada tahun tersebut.

Pada tahun 2007 BEJ melakukan merger dengan Bursa Efek Surabaya dan berganti nama menjadi Bursa Efek Indonesia. Penggabungan ini menjadikan Indonesia hanya memilki satu pasar modal.

2. Perbedaan Spekulator (spekulan) dengan Investor

a) Pengertian Capital Gain dan Deviden[29]

Hal yang membedakan antara investor dengan spekulan terletak pada tujuan utama seorang nasabah membelanjakan dananya di pasar modal. Spekulan (speculator) menginvestasikan dananya untuk membeli saham suatu perusahan untuk mendapatkan capital gain, yaitu kelebihan harga jual diatas harga beli saham. Sedangkan seorang investor menginvestasikan dananya dalam waktu yang cukup lama untuk memperoleh deviden, yaitu bagian laba yang dibagikan oleh emiten kepada para pemegang sahamnya.

b) Perbedaan Karakter Spekulan dengan Investor.[30]

Seorang investor (the riel investor) pasti akan sangat teliti sebelum menginvestasikan dananya untuk membeli saham. Berbagai bahan pertimbangan dapat digunakan sebelum investasi. Salah satunya yakni dengan menganalisis laporan keuangan sebuah emiten.

Untuk pembagian laba perusahaan, biasanya diputuskan didalam RUPS, dan proporsi pembagian deviden akan tergantung pada RUPS yang tidak terlepas dari kondisi emiten. Seorang spekulan biasanya lebih rajin dalam mengikuti setiap berita dan rumor yang terjadi pada setiap emiten. Informasi dari media massa baik mengenai bisnis, sosial, ataupun politik senantiasa penting dan harus diikuti. Spekulan juga rajin dalam mengikuti naik turunnya harga saham setiap saat, setiap hari melalui analisis banyaknya pembeli dan penjual.

Para spekulan cenderung lebih aktif memantau setiap perubahan harga saham dari point ke point karena para spekulan pada umumnya tidak memiliki tujuan untuk menginvestasikan dananya terlalu lama dalam saham yang dibelinya.

3. Berbagai Jenis Saham

a) Pengertian Saham

Saham didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan. Menurut William H. Pike, selembar saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik (berapapun porsinya) dari suatu perusahaan yang menerbitkan saham tersebut, sesuai porsi kepemilikannya yang tertera pada saham.

b) Common Stock dan Preferred Stock

Ada dua jenis saham yakni:

· Common Stock

Common stock atau saham biasa adalah saham yang sifat pemberian devidennya tidak tentu, tergantung bagaimana keuntungan yang diperoleh perusahaan penerbitnya.

· Prefered Stock

Prefered stock atau saham preferen adalah saham yang sifat pemberian devidennya bisa disepakati antara investor dengan perusahaan penerbit saham. Deviden akan ditetapkan lebih dahulu melalui perjanjian penetapan peneriamaan deviden. Besarnya deviden biasanya tetap. Tetapi seandainya perusahaan sedang jatuh, pemilik saham preferen akan dinomorduakan dari pemilik obligasi, tetapi dinomorsatukan dari pemilik saham biasa.

c) Perbedaan Hak Investor Saham Biasa dengan Saham Preferen

Investor saham biasa memiliki hak-hak sebagai berikut:

· Hak untuk mengeluarkan pendapat

· Hak mendapatkan deviden sesuai keputusan RUPS

· Hak untuk memilih pengurus sesuai dengan Peraturan yang ditetapkan dalam RUPS

· Hak untuk memindahkan kepemilikan sahamnya.

Sedangkan investor saham preferen memiliki hak-hak sebagai berikut:

· Hak menerima deviden terlebih dahulu dibanding pemilik saham biasa

· Jika keadaan sedang pailit dan terjadi likuidasi, maka para pemilik saham preferen mempunyai hak untuk dinomorsatukan dalam pembagian aset perusahaan

· Di lain pihak, pemilik saham preferen tidak memili hak berpendapat dan juga tidak berhak menuntut jika perusahaan penerbit mengalami pailit.

4. Proses Perdagangan Saham[31]

Saham hanya diperjualbelikan di pasar saham. Setiap orang yang telah memenuhi syarat-syarat, berhak untuk melaksanakan jual beli saham di pasar modal. Setiap saham berisi informasi-informasi, baik positif maupun negatif yang perlu diketahui oleh para investor agar tidak salah dalam memilih saham.

Adapun secara riil, saham berukuran atau berbentuk seperti sertifikat pada umumnya yang kertasnya terbuat dari bahan tertentu. Di dalam saham tertera antara lain: No.SKS atau Nomor Surat Kolektif Saham, nilai modal saham perusahaan, nilai nominal saham, nama pemilik saham, dan lain sebagainya.

Proses perdagangan saham berangsung pada hari bursa, yaitu hari Senin sampai hari Jum’at, dan dimulai pada pukul 09.30. Pada pukul 09.30 yang menjadi saat dimulainya proses perdagangan, terdapat harga pembukaan. Harga pembukaan adalah harga yang diminta oleh pembeli atau penjual ketika itu. Jam trading berakhir pada pukul 16.00 dan pada waktu ini terdapat harga penutupan yang merupakan harga yang diminta oleh pembeli dan penjual.

Proses Perdagangan Saham pada Pasar Perdana

Pada pasar perdana, pembeli atau investor tidak dapat memperoleh sahamnya dengan jangka waktu, seperti ketika membeli saham di pasar sekunder.

Pada pasar sekunder ditetapkan T+4 sebagai batas waktu penerimaan saham. Jika investor membeli pada hari Senin, 28 September 1998, ia akan menerima saham pada hari Jum’at, tanggal 2 Oktober 1998.

Pada pembelian saham perdana, investor harus medaftarkan terlebih dahulu melalui pialang, dengan memesan jumlah saham yang hendak dibelinya. Prsedur pembelian sama dengan pembelian di pasar sekunder.

Harga pada penawaran perdana yang telah ditetapkan belum dapat dicatatkan di BEJ, sehingga inilah yang menjadi motivasi bagi para investor dalam mengejar saham perdana yang dijual dengan harga murah. Pada umumnya harga yang ditawarkan dalam perdagangan saham perdana lebih rendah atau bahkan jauh lebih rendah dibanding harga pada saat ”listing/pencatatan” di Bursa Efek Jakarta.

5. Saham Syariah[32]

Saham merupakan surat berharga yang merepresentasikan penyertaan modal kedalam suatu perusahaan. Sementara dalam prinsip syariah, penyertaan modal dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti bidang perjudian, riba, memproduksi barang yang diharamkan seperti bir, dan lain-lain.

Di Indonesia, prinsip-prinsip penyertaan modal secara syariah tidak diwujudkan dalam bentuk saham syariah maupun non-syariah, melainkan berupa pembentukan indeks saham yang memenuhi prinsip-prinisp syariah. Dalam hal ini, di Bursa Efek Indonesia terdapat Jakarta Islamic Indeks (JII) yang merupakan 30 saham yang memenuhi kriteria syariah yang ditetapkan Dewan Syariah Nasional (DSN). Indeks JII dipersiapkan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama dengan PT Danareksa Invesment Management (DIM).

Jakarta Islamic Index dimaksudkan untuk digunakan sebagai tolok ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham dengan basis syariah. Melalui index ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk mengembangkan investasi dalam ekuiti secara syariah. Jakarta Islamic Index terdiri dari 30 jenis saham yang dipilih dari saham-saham yang sesuai dengan Syariah Islam. Penentuan kriteria pemilihan saham dalam Jakarta Islamic Index melibatkan pihak Dewan Pengawas Syariah PT Danareksa Invesment Management. Saham-saham yang masuk dalam Indeks Syariah adalah emiten yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan syariah seperti:

1. Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.

2. Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk perbankan dan asuransi konvensional.

3. Usaha yang memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman yang tergolong haram.

4. Usaha yang memproduksi, mendistribusi dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

Selain kriteria diatas, dalam proses pemilihan saham yang masuk JII Bursa Efek Indonesia melakukan tahap-tahap pemilihan yang juga mempertimbangkan aspek likuiditas dan kondisi keuangan emiten, yaitu:

1. Memilih kumpulan saham dengan jenis usaha utama yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sudah tercatat lebih dari 3 bulan (kecuali termasuk dalam 10 kapitalisasi besar).

2. Memilih saham berdasarkan laporan keuangan tahunan atau tengah tahun berakhir yang meiliki rasio Kewajiban terhadap Aktiva maksimal sebesar 90%.

3. Memilih 60 saham dari susunan saham diatas berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar (market capitalization) terbesar selama satu tahun terakhir.

4. Memilih 30 saham dengan urutan berdasarkan tingkat likuiditas rata-rata nilai perdagangan reguler selama satu tahun terakhir.

5. Pengkajian ulang akan dilakukan 6 bulan sekali dengan penentuan komponen index pada awal bulan Januari dan Juli setiap tahunnya. Sedangkan perubahan pada jenis usaha emiten akan dimonitoring secara terus menerus berdasarkan data-data publik yang tersedia.

E. Hukum Jual Beli Saham

Aktivitas jual beli saham di pasar modal dilaksanakan pada pasar perdana dan pasar sekunder. Pada pasar perdana, seseorang yang melakukan transaksi bertujuan menginvestasikan dananya dalam jangka waktu yang lama untuk mendapatkan deviden. Sedangkan, pada pasar sekunder seseorang melakukan transaksi jual beli saham dalam rangka mendapatkan capital gain. Seseorang yang bertransaksi di pasar sekunder melakukan spekulasi untuk mendapatkan keuntungan.[33]

Pasar modal terbentuk melalui mekanisme bertemunya permintaan dengan penawaran saham oleh pihak-pihak yang akan melakukan jual beli. Aktivitas tersebut akan menggiring kepada keuntungan yang akan didapatkan oleh pihak-pihak yang melakukan aktivitas jual beli tersebut.

Namun, jual beli saham di pasar modal mengandung berbagai macam bentuk kedzhaliman dan kriminalitas, seperti perjudian, perekrutan uang dengan cara haram, monopoli, memakan uang orang lain dengan cara bathil, serta berspekulasi dengan orang dan masyarakat.[34]

Sebenarnya, transaksi saham di pasar memiliki dampak positif—disamping dampak negatifnya yang lebih banyak. Beberap dampak positif dari jual beli saham adalah sebagai berikut:[35]

· Membuka pasar tetap yang memudahkan penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi.

· Mempermudah pendanaan pabrik-pabrik, perdagangan dan proyek pemerintah melalui penjualan saham.

· Mempermudah penjualan saham dan menggunakan nilainya.

· Mempermudah mengetahui timbangan harga-harga saham dan barang-barang komoditi, melalui aktivitas permintaan dan penawaran.

Akan tetapi, dampak negatif yang ditimbulkan dari transaksi saham—terutama pada pasar sekunder—jauh lebih besar seperti[36]:

· Transaksi berjangka dalam bursa saham ini sebagian besar bukan jual beli sebenarnya, yakni tidak adanya unsur serah terima sebagai syarat sah jual beli menurut hukum Islam.

· Kebanyakan dari transaksi saham adalah penjualan sesuatu yang tidak dimiliki, baik berupa uang, saham, giro piutang dengan harapan akan dibeli di pasar sesungguhnya dan diserahkan pada saatnya nanti, tanpa mengambil uang pembayaran terlebih dahulu.

· Pembeli dalam pasar ini kebanyakan membeli kembali barang yang dibelinya sebelum dia terima. Hal ini juga terjadi pada orang kedua, ketiga atau berikutnya secara berulang. Peran penjual dan pembeli selain yang pertama dan terakhir, hanya untuk mendapatkan keuntungan semata secara spekulasi (membeli dengan harga murah dan mengharapkan harga naik kemudian menjualnya kembali).

· Penodal besar mudah memonopoli saham di pasaran agar bisa menekan penjual yang menjual barang-barang yang tidak mereka miliki dengan harga murah, sehingga penjualan lain kesulitan.

· Pasar saham memilki pengaruh merugikan yang sangat luas. Harga-harga pada pasar ini tidak bersandar pada mekanisme pasar yan benar, tetapi oleh banyak hal yang lekat dengan kecurangan, seperti dilakukan oleh pemerhati pasar, monopoli barang dagangan dan kertas saham, atau dengan menyebarkan berita bohong dan sejenisnya.

Pada tahun 1404 H, lembaga pengkajian fiqih Rabithah al-Alam al-Islamy telah memberikan keputusan berkaitan dengan jual beli saham. Untuk kepentingan praktis, penulis meringkasnya sebagai berikut:[37]

1. Bursa saham merupakan suatu mekanisme pasar yang berguna dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, pasar ini dipenuhi dengan berbagai macam transaksi berbahaya menurut syariat seperti perjudian, memanfaatkan ketidaktahuan orang, serta memakan harta orang lain dengan cara bathil. Hukum bursa saham tidak dapat ditentukan secara umum, melainkan dengan memisahkan dan menganalisa bagian-bagian tersebut secara rinci.

2. Transaksi barang yang berada dalam kepemilikan penjual, bebas untuk ditransaksikan dengan syarat barang tersebut harus sesuai dengan syariat. Jika tidak dalam kepemilikan penjual, harus dipenuhi syarat-syarat jual beli as-Salam.

3. Transaksi instan atas saham yang berada dalam kepemilikan penjual, boleh dilakukan selama usaha suatu emiten tidak haram. Jika usaha suatu emiten haram menurut syariat, seperti bank riba, minuman keras dan sejenisnya, transaksi jual beli saham menjadi haram.

4. Transaksi instan maupun berjangka yang berbasis bunga, tidak diperbolehkan menurut syariat, karena mengandung unsur riba.

5. Transaksi berjangka dengan segala bentuknya terhadap barang gelap (tidak berada dalam kepemilikan penjual) diharamkan menurut syariat. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.”

6. Jual beli saham dalam pasar modal tidak dapat dikategorikan sebagai as-Salam dengan alasan: Harga barang tidak dibayar langsung sebagaimana as-Salam dan barang (saham) dijual hingga beberapa kali pada saat berada dalam kepemilikan penjual pertama dalam rangka menjual dengan harga maksimal, persis seperti perjudian.

F. Kesimpulan

Bedasarkan pembahasan dan analisa yang di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

· Saham pada dasarnya merupakan bukti kepemilikan seseorang atas suatu perusahaan (emiten) dan berfungsi sarana penyertaan modal (investasi). Baik saham maupun investasi pada dasarnya bersifat mubah dalam Islam. Dengan demikian, saham merupakan barang yang sah diperjualbelikan dengan ketentuan usaha yang dilakukan oleh emiten adalah usaha yang halal bukan yang haram.

· Jual beli saham diperbolehkan menurut syariat jika saham tersebut berada dalam kepemilikan penjual. Jika tidak, jual beli ini dilarang karena termasuk jual beli yang dilarang menurut syariat, yaitu menjual barang yang tidak dimiliki.

· Jual beli saham berbasis bunga dilarang menurut syariat Islam karena termasuk praktik riba.

· Jual beli saham tidak dapat dikategorikan ke dalam jual beli salam karena dua alasan, yaitu harga barang yang tidak dibayar secara langsung—melainkan menunggu hari penyerahan—dan mengalami beberapa kali transaksi penjualan padahal masih berada dalam kepemilikan penjual pertama.

DAFTAR PUSTAKA

Alquran al-Karim.

Bursa Efek Indonesia. “Pasar Modal Syariah.” http://www.idx.co.id/MainMenu/TentangBEI/OurProduct/SyariahProducts/tabid/142/lang/id-ID/language/id-ID/Default.aspx. (19 Juni 2008).

Dwiyanti, Vonny. 1999. Wawasan Saham 1. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

Halal Guide. “Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 05/DSN-MUI/IV/2000, tentang Jual Beli Salam.” http://www.halalguide.info/content/view/137/398/. 19 Juni 2008.

Halal Guide. “Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 40/DSN-MUI/X/2003, tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.” http://www.halalguide.info/content/view/172/398/. 19 Juni 2008.

Hulwati. 2001. Transaksi Saham di Pasar Modal Indonesia Perspektif Hukum Ekonomi Islam. Yogyakarta: UII Press.

Keraf, Gorys. 1989. Komposisi; Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Jakarta: Nusa Indah.

Muchtasib, Ach. Bakhrul. Sekuritas Syariah.

Mushlih, Abdullah dan Shalah Shawi. 2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq.

Republika. 2008. “The 4th World Islamic Economic Forum 2008; Timur Tengah, Peluang Masa Depan Indonesia.” 21 Mei.

Wapedia. “Bursa Efek Jakarta.” http://wapedia.mobi/id/Bursa_Efek_Jakarta. 19 Juni 2008.


[1]Republika, “The 4th World Islamic Economic Forum 2008, Timur Tengah, Peluang Masa Depan Indonesia,” 21 Mei 2008.

[2] Hulwati, Transaksi Saham di Pasar Modal Indonesia Perspektif Hukum Ekonomi Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001)

[3] Ach. Bakhrul Muchtasib, “Sekuritas Syariah,” makalah tidak diterbitkan.

[4] Abdullah Mushlih dan Shalah Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004), halaman 90.

[5] Ibid, halaman 90 – 91.

[6] Ibid, halaman 92 – 93.

[7] Ibid, halaman 93 – 95.

[8] Ibid, halaman 95 – 97.

[9] Dikeluarkan oleh ath-Thahawi dalam Syahrul IV: 21, dan juga dalam Musykilul Atsar nomor 795. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III: 71, juga oleh al-Hakim II: 57, oleh al-Baihaqi V: 290 dengan sanad yang lemah, karena lemahnya Musa bin Ubaidah ar-Rubadzi. (Lihat catatan kaki Abdullah Mushlih dan Shalah Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, halaman 97).

[10] Ibid, halaman 98.

[11] Ibid, halaman 140.

[12] Ibid, halaman 141.

[13] Ibid, halaman 106.

[14] Ibid, halaman 107 – 108.

[15] Ibid, halaman 111.

[16] Ibid, halaman 116.

[17] Ibid, halaman 142.

[18] Ibid, halaman 143.

[19] Ibid, halaman 143.

[20] Ibid, halaman 143.

[21] Ibid, halaman 143.

[22] Ibid, halaman 148 – 149.

[23] Ibid, halaman 195 – 196.

[24] Vonny Dwiyanti, Wawasan Saham 1, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1999), halaman 1 – 2.

[25] Ibid, halaman 2 – 3.

[26] Ibid, halaman 3 – 4.

[27] Ibid, halaman 4 – 5.

[28] Wapedia, “Bursa Efek Jakarta”, http://wapedia.mobi/id/Bursa_Efek_Jakarta. (19 Juni 2008)

[29] Vonny Dwiyanti, Wawasan Saham 1, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1999), halaman 7.

[30] Ibid, halaman 9.

[31] Ibid, halaman 17 – 21.

[33] Vonny Dwiyanti, Wawasan Saham 1, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1999), halaman 7 – 9.

[34] Abdullah Mushlih dan Shalah Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004), halaman 295.

[35] Ibid, halaman 298.

[36] Ibid, halaman 298 – 300.

[37] Ibid, halaman 301 – 302.

Written by ukasbaik

June 19, 2008 at 2:53 pm

Posted in Artikel

Tagged with ,

5 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. ini cuma teori doang. prakteknya dilapangan payah?????????????????

    dirikuw...

    July 17, 2008 at 8:15 pm

  2. assalamualaikum wr wb

    bolehkah kita berbisnis di bursa saham secara global???
    wassalam

    hormat saya
    idwan destiawan
    one_bond@yahoo.com

    one

    August 5, 2008 at 1:36 am

  3. Maaf numpang lewat ya..!

    Indro

    September 26, 2008 at 6:22 am

  4. Minta artikelnya, buat tugas di sekolah tentang jual beli menurut syariat islam. Trima kasih banyak. 🙂

    1rchamdy

    November 2, 2008 at 6:54 am

  5. ^_^

    uyuy

    March 26, 2009 at 9:14 am


Leave a reply to one Cancel reply