Santri Metropolis

Belajar Menjadi Bijak

Our Heart for Palestine (Dompet Dhuafa Republika)

with 2 comments

PRESS RELEASE

Heart for Palestine, dari Indonesia untuk Saudara di Palestina

Setiap tiga menit, pesawat F-16 milik Israel terus menghujani Kota Gaza dengan bom. Target mereka adalah pusat pemerintahan, sarana olahraga dan rumah sakit. Hingga Selasa, 30 Desember 2008, serangan militer Israel memasuki hari keempat dan telah menewaskan sedikitnya 360 jiwa dan 1700 orang terluka yang kebanyakan penduduk sipil wanita dan anak-anak. Serangan yang sengaja diarahkan ke pemukiman warga Palestina itu sebagai bagian dari upaya menghabisi Hamas.

Anak-anak dipaksa menjadi yatim piatu seketika, sebagian lainnya terkapar dengan dada berlubang dan kepala hancur. Wanita-wanita meratapi jasad suami mereka, dan para ibu kehilangan putra-putrinya yang terhantam bom dan roket Israel. Sampai hari ini, langit Gaza masih berhias roket-roket Israel yang terus diluncurkan, asap hitam menutupi sebagian besar langit. Sedangkan tanah Jalur Gaza bau amis dan dipenuhi potongan tubuh manusia. Kekejaman ini akan terus berlanjut sampai batas waktu yang tak tentu.

Syeikh Al-Azhar, Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi menyerukan negara-negara Islam untuk “mengerahkan segenap kemampuan mereka” untuk membantu Gaza yang tengah digempur secara brutal oleh Israel. Dari tanah Indonesia yang dipenuhi jiwa mukmin, hati mukminin sejati di negeri mayoritas muslim ini bergetar dan tak bisa terus berdiam diri menyaksikan kekejaman Israel membantai saudara-saudara di Palestina.

Dompet Dhuafa (DD), lembaga amil zakat nasional menggelar aksi simpatik untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk memertahankan kedaulatannya, memperjuangkan setiap jengkal tanah merdekanya dengan darah dan air mata. Aksi simpatik dengan mengusung tema “HEART FOR PALESTINE” digelar Rabu, 31 Desember 2008 di Bundaran Ratu Plaza, Jakarta, mulai pukul 10.00 WIB.

Selain aksi simpatik, Dompet Dhuafa juga terus mengumpulkan donasi dan bantuan kemanusiaan untuk dibawa langsung ke Jalur Gaza oleh relawan DD pada tanggal 10 Januari 2009. Saat ini, dana terkumpul yang sudah siap dibawa sebesar Rp. 1 Milyar, dan pengumpulan masih terus berlangsung karena dana yang dibutuhkan sangat besar.

Israel masih terus melancarkan serangannya dan tidak berhenti sampai hari ini, semoga kita tidak berhenti berdoa dan membantu saudara-saudara di Palestina. Semoga Allah meringankan beban kita di Padang Mahsyar nanti, sebagaimana kita meringankan penderitaan saudara-saudara kita di Gaza. Mudah-mudahan sebentar lagi kita bisa solat berjama’ah di Masjidil Aqsa dalam keadaan merdeka dari penjajahan Zionis Israel.

Dompet Dhuafa Republika
Herman Budianto
081319626630
http://dompetdhuafa .or.id

Written by ukasbaik

January 2, 2009 at 1:24 am

Posted in Hot

Tagged with , , ,

ZAKAT OUTLOOK 2009:

leave a comment »

MAMPUKAH ZAKAT BERPERAN SERTA MEMBANGUN BANGSA

Di Indonesia, kemiskinan masih menjadi isu utama pembangunan. Hingga saat ini, pemerintah masih belum mampu mengatasi kemiskinan secara tuntas. Hingga 2008, angka kemiskinan masih berada pada kisaran 15%, jauh diatas target 2009 yang dipatok di kisaran 5%. Oleh karena itu, diperlukan komponen lain yang memiliki potensi sangat besar dalam proses pembangunan bangsa, namun belum mendapat tempat strategis dalam peta pembangunan nasional, yaitu zakat.

Zakat memiliki berbagai fungsi strategis, selain sebagai wujud ibadah dan kewajiban moral, berfungsi pula sebagai alternatif instrumen kebijakan fiskal untuk mewujudkan pemerataan pendapatan. Zakat merupakan sarana untuk mewujudkan keadilan social. Indonesia memiliki potensi zakat yang sangat besar. Akan tetapi, karena berbagai faktor, potensi zakat tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memberantas kemiskinan dan mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Realisasi penerimaan zakat hingga kini masih berkisar di angka Rp 0.5 – 1 trilyun rupiah per tahun. Padahal, potensi zakat disinyalir mencapai angka Rp 9 trilyun per tahun menurut PIRAC), Rp 17.5 trilyun per tahun (menurut Forum Zakat), bahkan Rp 19 trilyun per tahun (menurut PBB UIN Syarif Hidayatullah).

Dalam rentang enam dekade pasca kemerdekaan negeri ini, zakat mengalami pasang surut perkembangan. Walau telah mendapat perhatian sejak awal pemerintahan orde baru, namun kebangkitan zakat Indonesia justru dimulai oleh masyarakat sipil. Kurang aspiratif dan optimalnya pengelolaaan zakat yang dilakukan oleh Negara menyebabkan sebagian masyarakat berinisiatif untuk mengelola zakat secara lebih produktif. Berbagai Lembaga Amil Zakat bermunculan di tanah air. Ada yang berafiliasi dengan lembaga sosial-keagamaan yang sudah ada dan ada pula yang murni muncul karena kepedulian perusahaan atau sekelompok masyarakat tertentu. Kehadiran Lembaga Amil zakat ini melahirkan aktitivitas yang menjadi inspirasi masyarakat. Terlepas dari masih minimnya peran zakat dalam pembangunan nasional secara makro yang dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat, dalam skala mikro atau komunitas, pengalaman berbagai kelompok mustahik dan berbagai indikator awal lainnya menunjukkan bahwa telah cukup banyak program-program pendayagunaan zakat yang berhasil meningkatkan kesejahteraan komunitas yang dibantunya. Hal ini terlihat antara lain dalam pendayagunaan zakat untuk bidang kesehatan, pendidikan, bantuan untuk bencana alam, dan bidang ekonomi.

Dalam jagat perzakatan di Indonesia, selain dikenal Badan Amil Zakat (BAZ) bentukan pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang non-pemerintah sesuai amanat UU No.38/1999, masih terdapat institusi-institusi pengelola zakat yang bersifat informal bahkan seringkali beroperasi secara temporer. Walau terdapat indikasi bahwa zakat yang mereka kelola cukup besar, tetapi data-data tentang itu tidak tersedia. Ketaktersediaan data, menyulitkan memproyeksikan dan merancang perubahan dengan optimalisasi zakat secara nasional. Sampai saat ini secara nasional tidak terdapat angka yang pasti mengenai pendayagunaan dana zakat. Hal ini karena belum semua BAZ dan LAZ melaporkan dan mengaudit penggunaan dana tersebut dalam laporan keuangan mereka. Kalaupun ada, masih sulit mengakses data itu.

Salah satu ikhtiar meyakinkan semua pihak, agar zakat perlu masuk dalam ranah kebijakan nasional, Circle of Information and Development (CID) – Dompet Dhuafa merilis sebuah Laporan Proyektif bertajuk “Indonesia Zakat and Development Report (IZDR) 2009” bekerjasama dengan Pusat
Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (PEBS FE UI). IZDR 2009 ini digelar dalam bentuk Seminar Zakat Outlook dengan mengusung tema “Zakat dan Pembangunan: Era Baru Zakat Menuju Kesejahteraan Umat”. Seminar Zakat Outlook ini menghadirkan sejumlah pakar dan narasumber, yaitu: Dr. Iman Sugema (pengamat ekonomi), Ir. Adiwarman Karim, MBA. MAEP (pakar ekonomi syariah), Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat (Ditjen Pemberdayaan Masyarakat, (DepSos RI), Drs. H. Fauzi Bahar, M.Si (Walikota Padang, Sumatera Barat), dan Hilman Rosyad, Lc. (Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI).

Para pakar, pengamat dan praktisi zakat ini akan berupaya mengusung dan menghadirkan
zakat pada posisi yang strategis dalam mainstream pembangunan nasional, agar mampu mengambil peran dan kontribusi nyata untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia. Pembahasan juga dimungkinkan memperoleh perspektif yang menyeluruh tentang dunia zakat, pergerakan serta capaian-capaian yang telah diraih, bagaimana interaksi stakeholders perzakatan, dan yang tak kalah pentingnya analisis peluang ke arah yang lebih baik di masa mendatang.

Seminar Zakat Outlook 2009 ini, mengemban tiga tujuan utama: (1) mengkaji perkembangan zakat dari waktu ke waktu; (2) memberikan informasi-informasi penting untuk analisis kebijakan dan pengembangan zakat seperti proyeksi pertumbuhan, penghimpunan, penyaluran atau pendayagunaan zakat, serta regulasi zakat; (3) melakukan analisis kebijakan/ regulasi yang telah dikeluarkan dan memberikan rekomendasi kebijakan yang dibutuhkan.

Direncanakan setiap tahun Circle of Information and Development (CID) – Dompet Dhuafa bekerja sama dengan Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (PEBS FE UI), akan rutin menerbitkan Indonesia Zakat and Development Report (IZDR).

Dalam IZDR 2009 ini menawarkan gagasan arsitektur zakat Indonesia sebagai bentuk pengaturan kelembagaan (institutional arrangement) dengan fitur utama pemisahan fungsi regulator dan operator. Hal ini terkait dengan rencana amandemen UU No. 38/1999 sebagai dasar regulasi dan kerangka Institusional perzakatan nasional. Laporan ini juga menawarkan gagasan reposisi zakat dalam sistem fiskal nasional, bagaimana relasi zakat dengan negara, bagaimana mendekatkan potensi dan realisasi zakat dalam konteks kekinian Indonesia.

Untuk kinerja pengelolaan zakat yang baik, IZDR 2009 menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas organisasi pengelola zakat untuk meraih kepercayaan publik. Beberapa langkah yang direkomendasikan IZDR 2009 untuk mendekatkan potensi dan realisasi zakat, yaitu: (i) mengokohkan kerangka regulasi zakat; (ii) penguatan kelembagaan pengelolaan zakat; (iii) meningkatkan dukungan, kesadaran, dan kepercayaan publik kepada institusi pengelola zakat; (iv) koordinasi dan sinergi zakat dengan program pembangunan; dan (v) revitalisasi BAZ-LAZ. Laporan ini juga menekankan besarnya potensi zakat dalam konteks otonomi daerah dan menggagas pentingnya sinkronisasi zakat di tingkat pusat dan daerah.

Rendahnya penerimaan dana zakat di Indonesia disebabkan tiga hal pokok, yaitu: (i) Rendahnya kesadaran wajib zakat dan rendahnya kepercayaan terhadap BAZ-LAZ.; (ii) Basis zakat yang tergali masih terkonsentrasi pada zakat fitrah dan zakat profesi; dan (iii) Masih rendahnya insentif bagi wajib zakat untuk membayar zakat. Untuk itu dibutuhkan strategi penghimpunan dana zakat yang lebih baik ke depan. Selain itu, IZDR 2009 juga menawarkan agenda-agenda ke depan terkait zakat dan pembangunan. Dalam jangka pendek-menengah, agenda terpenting adalah meningkatkan kredibilitas zakat, terutama dalam program pengentasan kemiskinan. Upaya meningkatkan efektifitas dan kredibilitas zakat semestinya berfokus pada 4 agenda. Pertama, peningkatan penerimaan dana zakat baik melalui upaya intensifikasi maupun ekstensifikasi. Kedua, peningkatan efektifitas pendayagunaan dana zakat. Ketiga, perbaikan arah regulasi dan kerangka institusional zakat. Keempat, penguatan kapasitas sumber daya manusia dan institusi pengelola zakat.

Diperlukan strategi pendistribusian yang tepat agar dana zakat menjadi efektif. Setidaknya terdapat tiga isu penting disini. Pertama, prioritas dalam distribusi zakat. Kedua, bentuk pendistribusian zakat yang sesuai. Ketiga, menyesuaikan dengan kondisi lokal dan perkembangan terkini. Fokus pendayagunaan zakat oleh Lembaga Pengelola Zakat di Indonesia mengalami transformasi besar dari ranah “charity and relief” ke ranah “development and empowerment”, “advocacy and policy making” hingga ke “thought and civilization”. Isu penting lainnya dalam aspek pendayagunaan zakat adalah masalah identifikasi mustahik agar zakat tepat sasaran dan efektif dalam mengentaskan kemiskinan.

Tema zakat, sejatinya demikian luas dan kaya daya tarik. Bahkan, ketika ekonomi dunia dan nasional tengah muram, terlihat seberkas cahaya. Di sudut-sudut negeri ini, kilau zakat tersaput prasangka, terhalang onak dan duri kebelumfahaman. Mari bersama menyibakkannya agar cahayanya terangi negeri. InsyaAllah. []

Informasi Lebih Lanjut:

CID (021-7416050 Ext. 350)/

Nana Mintarti, Direktur CID (0812-802-6942) /

Yusuf Wibisono, Wakil Direktur PEBS FE UI (0815-972-7904)

Bot Pranadi, Staf Riset CID (0818-762-077)

Bayu Gawtama

Life-Sharer
http://bayugawtama.net
087 87 877 1961

Written by ukasbaik

December 23, 2008 at 2:39 am

Hidayat Nur Wahid Tokoh Muda Favorit

leave a comment »

Hasil survei Indonesia Research and Development Indonesia (IRDI) menyebutkan mayoritas pemilih di Indonesia menghendaki tampilnya pemimpin-pemimpin muda di panggung politik dan pemerintahan. Akan tetapi, tokoh muda lbih dikehendaki sebagai wakil presiden, bukannya presiden.
Tokoh muda yang dianggap pantas maju sebagai calon presiden, menurut para responden, berturut-turut dari yang teratas adalah Hidayat Nur Wahid, Andi Mallarangeng, Soetrisno Bachir, Anas Urbaningrum, Adhyaksa Dault, Rizal Mallarangeng, Hatta Radjasa, dan Tifatul Sembiring. Sementara untuk cawapres, adalah orang yang sama dengan urutan yang sama.
Penelitian yang dilakukan IRDI ini menggunakan metode multistage random sampling. Jumlah responden mencapai 2.000, berusia 17-44 tahun dari 33 provinsi. Sampling error hasil survei ini adalah 2,19 persen.
(Republika, 12 Desember 2008)

Written by ukasbaik

December 12, 2008 at 2:38 am

Posted in Uncategorized

Tagged with , , ,

Menggagas Sistem Nilai Tukar Uang Islam

leave a comment »

Sejarah mencatat, dalam sistem moneter Internasional pernah dikenal tiga macam sistem nilai tukar mata uang (kurs valas). Tiga sistem tersebut adalah Fixed Exchange Rate System, Floating Exchange Rate System dan Pegged Exchange Rate System.

Era fixed exchange rate system ditandai dengan berlakunya Bretton Woods System sejak 1 Maret 1947. Sistem ini menuntut agar nilai suatu mata uang dikaitkan atau convertible terhadap emas atau gold exchange standard. Pada waktu itu, mata uang dolar AS menjadi acuan (numeraire), di mana semua mata uang yang terikat dengan sistem ini dikaitkan dengan USD. Untuk mencipta uang senilai $35, Federal Reserve Bank (Bank Sentral Amerika) harus mem-backup dengan emas senilai 1 ounce atau 28,3496 gram. Dengan demikian, nilai mata uang secara tidak langsung dikaitkan dengan emas melalui USD.
Namun ternyata, The Fed tergiur mencipta dollar melebihi kapasitas emas yang dimiliki. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan masyarakat dunia terhadap dolar AS. Hal tersebut ditandai dengan peristiwa penukaran dollar secara besar-besaran oleh negara-negara Eropa. Adalah Perancis, pada masa pemerintahan Charles de Gaule, negara yang pertama kali menentang hegemoni dollar dengan menukaran sejumlah 150 juta dollar AS dengan emas. Tindakan Perancis ini kemudian diikuti oleh Spanyol yang menarik sejumlah 60 juta dollar AS dengan emas. Praktis, cadangan emas di Fort Knox berkurang secara drastis. Ujungnya, secara sepihak, Amerika membatalkan Bretton Woods System melalui Dekrit Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, yang isinya antara lain, USD tidak lagi dijamin dengan emas. ‘Istimewanya’, dollar tetap menjadi mata uang internasional untuk cadangan devisa negara-negara di dunia. Pada titik ini, berlakulah sistem baru yang disebut dengan floating exchange rate.

Floating exchange rate atau sistem kurs mengambang adalah sistem yang ditetapkan melaui mekanisme kekuatan permintaan dan penawaran di bursa valas dan sama sekali tidak dijamin logam mulia. Pemerintah melalui Bank Sentral bebas menerbitkan sejumlah berapapun uang. Hal inilah yang menyebabkan nilai mata uang cenderung terdepresiasi, baik terhadap mata uang kuat (hard currency) maupun terhadap harga barang. Kondisi ini kemudian diperparah oleh aksi spekulan yang mengakibatkan nilai mata uang berfluktuasi secara bebas. Meski bisa dikendalikan melalui intervensi—yang dikenal dengan managed floating, otoritas pemerintah suatu negara cenderung menghindari hal ini karena membutuhkan sumber daya yang sangat besar yang berupa cadangan devisa. Berakhirnya fixed exchange rate dan bermulanya floating exchange rate, konon ditengarai sebagai awal dari berbagai rangkaian kesulitan moneter yang dikenal dengan “krisis moneter internasional” (Hamdy Hady, 2001). Sistem yang ketiga, pegged exchange rate ditetapkan dengan jalan mengaitkan mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain atau sejumlah mata uang tertentu yang biasanya merupakan mata uang kuat (hard currency). Sistem ini pernah dijalankan antara lain oleh negara-negara Afrika serta Eropa. Secara hakikat, sistem ini tak jauh beda dengan floating exchange rate system. Hal ini dikarenakan mekanisme hard currency sebagai mata uang yang dipagu (pegged) masih ditentukan melalui kekuatan supply dan demand pada bursa valas dalam hal mata uang yang dijadikan sebagai acuan.

Sistem Moneter Islam

Pertanyaannya, dari ketiga sistem moneter di atas, manakah yang sesuai dengan konsep ekonomi Islam? Beberapa argumen muncul. Yang paling dianggap benar, namun sering dianggap radikal bahkan oleh pengusung ekonomi Islam sendiri adalah kembali menggunakan mata uang fisik dinar dan dirham (full bodied money). Yang moderat mengusulkan supaya mata uang sekarang agar di-backup dengan emas sebagaimana Bretton Woods. Sedangkan yang paling lunak adalah sebagaimana seperti adanya sekarang, hanya bagaimana pemerintah mengatur supaya tidak ada lagi unsur maghrib (masyir ‘spekulasi’, gharar ‘penipuan’ dan riba) dalam sistem moneter yang berlaku. Dari ketiga usulan itu, penulis dengan tegas menolak yang disebutkan terakhir berdasarkan kenyataan bahwa sistem moneter yang ada sekarang memungkinkan pihak yang mengejar keuntungan pribadi melakukan aksi maghrib tersebut. Terbukti, betapapun pemerintah menghimbau para spekulan, aksi spekulasi di bursa valas masih tetap gencar.

Adapun alternatif yang pertama, saat ini akan (masih) sulit diwujudkan. Kesulitan ini terutama karena dinar dan dirham—meski sebenarnya merupakan mata uang dari luar Islam yaitu Romawi dan Persia—telah dicitrakan sebagai mata uang Islam. Menurut penulis, seandainya negara-negara Islam mengusulkan kepada dunia untuk menggunakan dinar dirham, akan banyak penolakan terutama Barat yang phobia terhadap Islam.

Dengan begitu, peluang terbesar ada pada usulan moderat, yaitu agar mata uang-mata uang sekarang kembali di-backup dengan emas—tentu dengan beberapa penyempurnaan dari system sebelumnya (Bretton Woods). System inilah yang oleh kalangan barat ingin kembali digulirkan yang dikenal dengan istilah Bretton Woods II. Usulan ini bahkan didukung oleh nama-nama besar seperti Joseph E. stiglitz (Ekonom Peraih Nobel dari Amerika), Gordon Brown (PM Inggris) hingga Nicholas Sarkozy (Presiden Perancis).

Keunggulan Gold Exchange Standard

Ada beberapa alasan mengapa mesti kembali pada gold exchange standard daripada sistem nilai tukar yang lain. Pertama, jumlah uang yang beredar di masyarakat bisa terkendali dengan baik dan tidak merajalela sebagaimana sekarang. Kondisi ini pada gilirannya akan mempertahankan kestabilan nilai tukar mata uang yang merupakan kondisi yang kondusif bagi perekonomian.

Kedua, dengan menggunakan gold exchange standard, perekonomian suatu Negara secara otomatis bisa melakukan mekanisme penyesuaian (adjustment) posisi BOP (Balance of Payment), yakni kembalinya posisi neraca pembayaran pada kondisi equilibrium bahkan surplus. Mekanisme ini sebagaimana dijelaskan oleh David Hume yang dikenal dengan “price specie flow mechanism” sebagai berikut. Ketika suatu negara mengalami defisit BOP, persediaan emas turun karena lari ke luar negeri. Larinya emas ke luar negeri berakibat turunnya money supply domestik yang disertai dengan turunnya harga-harga barang. Akibatnya, harga barang dalam negeri menjadi kompetitif yang pada gilirannya akan kembali meningkatkan ekspor pada kondisi semula atau bahkan lebih besar.

Ketiga, keuntungan mengunakan gold exchange standard adalah bahwa emas secara instrinsik menjaga nilainya dari fluktuasi bebas sebagaimana mata uang kertas. Untuk melakukan transaksi perdagagan, gold standard tidak memerlukan hedging yang pada hakikatnya merupakan barrier bagi perdagangan.

Beberapa Catatan

Di depan telah disinggung bahwa perlu adanya upaya penyempurnaan dari system Bretton Woods jika nantinya Bretton Woods II ingin kembali diwujudkan. Pertama, mata uang yang dipakai sebagai standar (numeraire) bukanlah mata uang negara atau kelompok negara tertentu karena cenderung terjadi hegemoni dari negara yang mata uangnya dijadikan sebagai standard tersebut sebagaimana kasus USD. Mata uang numeraire adalah mata uang independen yang diakui secara internasional.

Kedua, harus ada kontrol ketat bahwa untuk menciptakan mata uang standar tersebut harus tersedia emas yang memadai yang disimpan pada otoritas keuangan internasional. Selain itu, otoritas moneter internasional tersebut harus merupakan representasi seluruh negara di dunia, bukan corong kelompok kekuatan tertentu.

Written by ukasbaik

November 28, 2008 at 12:59 am

Posted in Artikel

Tagged with , ,

Etika Berbicara di depan Publik

with one comment

Kamis sore, saya mengikuti sebuah seminar di sebuah kampus negeri. Sebenarnya, waktu itu adalah waktu kuliah. Karen dosen mata kuliah yang bersangkutan kebetulan menjadi narasumber, jadilah kami (saya dan teman sekelas) peserta ’istimewa’ seminar tersebut. Ya, istimewa karena kami tidak perlu mendaftar, tapi sebagian dari kami bisa dapat tempat duduk paling depan. Istimewa juga karena tidak perlu membayar biaya pendaftaran, tetapi mendapat jatah konsumsi..:-). Namun sial bagi saya dan teman-teman yang datang terlambat. Kami tidak mendapat tempat duduk. It’s ok. Orang yang terlambat memang pantas untuk tidak mendapat tempat duduk.

Seminar itu membahas tentang tantangan ekonomi Islam menghadapi Krisis Ekonomi Global. Sebuah tema yang sangat menarik, berat, bahkan membuat sebagian orang yang mendengarnya mungkin akan mengerutkan kening. Apalagi bagi mereka yang awam dengan ekonomi Islam. Karena ternyata, di luar sana—maksudku di luar kampus ekonomi Islam ini, banyak sekali makhluk bernama manusia yang masih sangat awam dengan ekonomi Islam. Bagi saya, kondisi ini membuat saya beruntung (bukan karena nama saya Untung) hidup di kampus Ekonomi Islam tertua kedua di Indonesia (menurut teman saya: Haritsma). Posting ini sama sekali tidak bertujuan membahas isi seminar. Akan tetapi, menyoroti bagaimana prosesi seminar tersebut.

Bagi peserta yang sudah mengetahui bagian paling dasar (elementer) dari ekonomi Islam, apalagi bagi kami yang setiap hari memang mengkaji ekonomi Islam di dalam kelas (maaf, sama sekali tidak bermaksud sombong), materi yang disampaikan dalam seminar tersebut adalah materi yang sering kami bahas di kelas. Wal hasil, kami seperti merasa di rumah sendiri, hanya dalam sekup yang lebih besar, kurang lebih 200 orang. Bagi saya, pemateri makalah (dosen saya dan seorang lagi yang katanya mantan Presnas (Presidium Nasional) FoSSEI (Forums Silaturahim dan Studi Ekonomi Islam) sangat tepat dengan menjelaskan logika dasar dari ekonomi Islam, mengingat bahwa para peserta adalah awam.

Yang menarik perhatian saya adalah ketika salah seorang peserta, teman saya sendiri ’mengkritik’ (untuk tidak dikatakan sebagai ’menjatuhkan’). Beliau mengatakan kepada pemateri bahwa materi yang disampaikan kurang substansial dan tidak meninggung akar masalah sebenarnya, yang menurut saya justru sebaliknya. Pernyataan seperti ini menurut hemat saya, memiliki dampak yang kurang baik (untuk tidak dikatakan sebagai negatif). Ok. Bahwa menurut beliau materi yang disamapaikan tidak substansial adalah benar jika beliau berbicara dalam kapasitasnya sebagai pengkaji ekonomi Islam. Untuk beliau, jika membaca posting ini saya sarankan, ”kalau menginginkan pembahasan masalah yang lebih sering-seringlah antum ikut kajian”. Jadi tidak timpang dengan peserta lain. Pernyataan beliau bahwa pembicara kurang substansial, lagi-lagi menurut hemat saya bisa mengurangi kredibilitas dosen tersebut di mata publik, karena secara tidak langsung al akh mengatakan bahwa pembicara dibayar untuk mengatakan sesuatu yang mubazir. Padahal setelah saya cek, ternyata pembicara (sang dosen) sudah sangat tepat menyampaikan apa yang seharusnya beliau sampaikan. Karena, materi beliau akar krisis global tapi lebih ke arah ’bisnis (entrepreneur) sebagai alternatif dalam kondisi krisis’. Yang seharusnya menyampaikan akar krisis global memang menjadi tugas pembicara yang kedua.

Sebagai penutup, saya mengajak kepada seluruh pembaca, blogger, netter dan sejenisnya, agar lebih bijak ketika kita ingin berbicara atau berpendapat di depan publik. Setiap orang memang memiliki hak untuk berbicara, sepanjang tidak menyinggung orang lain, apalagi dalam kontek yang ’diserang’ adalah pembicara utama. Apalagi, kita berbicara dalam forum yang sangat-sangat Islami. Afwan (maaf) jika posting ini menyinggung pihak-pihak tertentu.

Written by ukasbaik

November 21, 2008 at 4:31 am

Posted in Kisah

Tagged with ,